Seruan Tinggalkan Energi Batubara, Waspada Solusi Palsu
13 May 2025 Nofita Ikayanti 250 Views
Baku, Azerbaijan – Dalam momentum Konferensi Perubahan Iklim (COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, sebanyak 25 negara dan Uni Eropa menyerukan penghentian proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara demi menahan laju pemanasan global di bawah ambang 1,5 derajat Celsius. Seruan ini datang dari negara-negara anggota Powering Past Coal Alliance (PPCA) yang menegaskan bahwa penggunaan batubara merupakan hambatan terbesar dalam upaya menanggulangi krisis iklim.
Menteri Energi Inggris, Ed Miliband, menyatakan bahwa pembangunan batubara baru harus segera dihentikan. Inggris bahkan menjadi negara G7 pertama yang menyatakan tidak lagi menggunakan batubara sebagai sumber energi. Ia mengajak negara-negara lain untuk mengikuti langkah serupa, menargetkan penghentian penggunaan batubara sepenuhnya sebelum COP30 tahun depan.
Meskipun ada kemajuan di beberapa negara, laporan Boom and Bust Coal 2024 oleh Globalenergymonitor.org menunjukkan bahwa penggunaan batubara global justru meningkat. Pada 2023, kapasitas pembangkit batubara secara global tumbuh sebesar 2%, dengan selisih pertumbuhan pembangkit baru sebesar 48,4 GW—pertumbuhan tertinggi sejak 2016. Tiongkok menyumbang dua pertiga dari kenaikan ini, diikuti oleh India, Vietnam, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya.
Wopke Hoekstra dari Komisi Eropa untuk Aksi Iklim menegaskan bahwa pertumbuhan batubara global ini merupakan tantangan serius bagi target pengurangan emisi. Hal senada disampaikan oleh Menteri Energi Uganda, Ruth Nankabirwa Ssentamu, yang menekankan bahwa energi kotor seperti batubara menjadi penghambat besar dalam pengembangan energi bersih dan memperparah dampak krisis iklim terhadap masyarakat global.
Indonesia tidak termasuk dalam koalisi PPCA, namun Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen untuk mencapai net zero emission sebelum 2050. Dalam forum G20 di Brasil, ia menyampaikan rencana untuk menyuntik mati seluruh PLTU batubara dalam 15 tahun ke depan dan membangun 75 GW pembangkit energi terbarukan, termasuk tenaga surya, hidro, panas bumi, dan nuklir. Indonesia, menurutnya, memiliki potensi besar dalam pemanfaatan energi surya karena letak geografisnya di garis khatulistiwa.
Pernyataan ini diperkuat oleh utusan Indonesia di COP29, Hashim Djojohadikusumo, yang menyebutkan bahwa 75% dari total energi baru dalam 15 tahun ke depan akan berasal dari sumber terbarukan. Pemerintah menyatakan bahwa proyek-proyek ini menjadi bagian dari strategi besar mencapai swasembada energi.
Namun demikian, sejumlah pihak mengingatkan agar publik tidak terburu-buru percaya terhadap janji transisi energi yang digaungkan pemerintah. Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, mengingatkan bahwa janji percepatan penutupan PLTU tidak boleh dilepaskan dari rekam jejak Presiden Prabowo yang dekat dengan industri ekstraktif.
Firdaus menyoroti bahwa narasi swasembada energi yang disampaikan Prabowo masih bertumpu pada energi skala besar seperti geothermal yang rawan menimbulkan konflik lahan dan perampasan ruang hidup masyarakat lokal. Ia mencontohkan adanya penolakan dari warga terhadap proyek geothermal di berbagai daerah seperti Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Menurutnya, jika transisi energi justru menggusur masyarakat atau tetap bergantung pada batubara yang hanya diolah ke bentuk energi baru, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai transisi yang adil. Ia menyebut konsep seperti ini sebagai “solusi palsu” yang hanya menggeser masalah, bukan menyelesaikannya.
Firdaus juga menilai bahwa pemerintah masih menggunakan paradigma lama dalam melihat transisi energi—yakni sebagai peluang ekonomi semata, bukan sebagai bagian dari upaya keadilan sosial dan lingkungan. “Krisis iklim adalah buah dari paradigma usang. Maka, tak mungkin kita menyelesaikannya dengan cara pandang yang sama,” tegasnya.
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap batubara. Sementara pemerintah berbicara tentang transisi energi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan PLTU dan pertambangan batubara masih berlangsung. Bahkan, dampaknya telah dirasakan oleh masyarakat, seperti petani di Indramayu yang hasil panennya kerap gagal akibat polusi dari PLTU di sekitarnya.
Seruan global untuk meninggalkan batubara semakin kuat, namun implementasinya masih berjalan lambat. Transisi energi tidak hanya membutuhkan teknologi dan investasi, tetapi juga perubahan paradigma yang berpihak pada lingkungan dan keadilan sosial. Tanpa itu, upaya menekan krisis iklim dikhawatirkan akan terjebak pada solusi semu yang tidak menyentuh akar masalah.
Source: https://www.mongabay.co.id/2024/12/09/seruan-tinggalkan-energi-batubara-waspada-solusi-palsu/ (oleh A. Asnawi, diterbitkan oleh Sapariah Saturi)
Mari Tonton Video Lengkapnya
The article explains the main causes of climate change, including burning fossil fuels for energy, manufacturing goods, deforestation, transportation, food production, building energy use, and overconsumption, all of which significantly contribute to greenhouse gas emissions.
-
07 Sep 2025
- 88 Views
Pemerintah Bali menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga lima kali lipat melalui percepatan penggunaan kendaraan listrik, mengingat sektor transportasi menyumbang 43% emisi di provinsi tersebut. Namun, transisi ini masih terhambat oleh harga kendaraan yang tinggi, infrastruktur terbatas, dan rendahnya adopsi masyarakat. Upaya ini menjadi bagian dari strategi Bali menuju nol emisi pada 2045.
-
13 May 2025
- 218 Views